Dongeng Untuk Putri (3)

Posted by Diah Chamidiyah Blog on Rabu, 04 Januari 2012

Dongeng Untuk Putri
Hari Ketiga

Putri adalah gadis kecil berusia empat tahun. Dia sudah sekolah di TK. Setiap hari, setelah pulang sekolah, Putri datang ke rumah saya. Jarak antara rumahku dengan rumahnya hanya beberapa kilometer, akan tetapi setiap kali datang kerumahku, Putri harus didampingi orang dewasa, karena harus melewati jalan raya. Berkaitan dengan jalan raya, ada cerita tersendiri.

Suatu hari saya mengajak Putri ke pasar untuk membeli kembang api. Setelah sampai di kios yang menjual kembang api, kami mencoba mencari penjualanya serta melihat-lihat jenis-jenis kembang api. Ada kembang api yang bisa meledak, ada yang seperti naga, ada pula yang berbentuk bunga. Ternyata penjual kembang api sedang berada diseberang jalan, maka saya menyuruh Putri untuk bersabar menunggu agar penjualnya yang menyeberang. Memang dasar Putri masih kecil dan belum terbiasa untuk menunggu, ketika baru beberapa detik saya menoleh untuk memilihkan kembang api alias lengah mengawasi dia, Putri pun sudah menyeberang jalan di depan pasar. Hampir saja dia terserempet sepeda motor. Saya pun hanya dapat memejamkan mata sambil berteriak memanggil namanya. Tak tanggung-tanggung, saya pun dimarahi oleh hampir semua pengguna jalan. Bukan hanya itu, lutut saya sendiri hampir tak bisa digerakkan karena kaget bercampur dengan kuatir. Untunglah, saat itu pengguna jalan yang lain berjalan dengan pelan-pelan, tak ayal lagi, saya tetap mendapat hadiah omelan, bahkan juga dari penjual kembang api.

“Aduh mbak, diawasi dong anaknya, aku sudah tak punya hati nih, kemarin baru saja ada anak yang tertabrak motor, tepat didepan mata saya. Tolong diawasi benar-benar anaknya ya mbak.” Kata penjual kembang api sambil memegang dadanya

Setelah membayar kembang api yang dipilih sendiri oleh Putri, saya pun langsung mengajak Putri pulang. Sampai dirumah, saya pun ‘mengintrogasi ‘ Putri atas apa yang telah dilakukannya.

“Kenapa Putri menyeberang jalan sendiri? Kan sudah dibilangi sama Budhe untuk menunggu?”

“Kan Putrisudah tengok kanan dan kiri ketika menyeberang, Budhe.” Katanya dengan wajah polos

“Memangnya kenapa Budhe? Budhe takut?” kata Putri katika melihat saya pucat pasi sambil mencari minum untuk menenangkan debar jantungku.

“Iya, Budhe takut kalau Putri tertabrak motor, kan tadi hampir saja Putri tertabrak!”

“Maaf Budhe, Putri tidak bermaksud membuat Budhe takut.” Katanya dengan muka polos

“Budhe, hidupin kembang apinya dong...”

“Nanti malam saja, biar kelihatan bagus, kalau siang, cahaya kembang apinya jadi jelek, sini kembang apinya disimpan dalam laci dulu!”

Putri pun menaruh kembang api di laci. Kemudian dia lari keluar untuk bermain bersama teman-temannya. Walaupun teman-temannya lebih besar, dia tidak takut. Justru dialah yang menjadi komando bagi teman-temannya. Mereka bermain masak-masakan, petak umpet, dan saling kejar-kejaran. Suasana menjadi ramai sekali. Kebetulan hari ini adalah hari libur sekolah. Rumahku menjadi makin riuh dengan kedatangan keponakan yang lain, yang juga sedang libur sekolah. Putri pun semakin bersemangat dalam bermain. Hingga akhirnya...

“Budhe, Putri sudah capek dan lapar Budhe. Putri mau makan dan minum susu.” Katanya sambil terengah-engah

“Sebelum makan dan minum susu, Putri cuci tangan dan kaki dulu, baru makan ya. Mau makan sendiri atau disuapin?”

“Disuapin Budhe aja.” Katanya sambil mencuci tangan dan kaki dengan sabun mandi.

Sedangkan semua sepupu Putri sudah selesai makan.

“Budhe, tadi Mas Reza turun ke sungai, katanya mau mencari ikan dan kodok. Kan nggak boleh ya Budhe, di sungai ada buayanya.” Kata Putri sambil melirik kakak sepupunya yang sedang minum. Putri  menyebut biawak sungai dengan  buaya.

Reza merupakan kakak sepupu Putri yang sangat disukainya, karena Reza sangat ngemong dan mau menuruti permintaan Putri untuk bermain apa saja, dari perang-perangan hingga masak-masakan. Reza sendiri baru duduk dikelas dua sekolah dasar, jadi dia juga masih anak-anak.

“Enggak kok, hanya mau melihat air sungai saja. Apakah ada sampahnya atau tidak.” Balas Reza sambil mencoba mengelak.

Didepan rumahku, sekitar lima ratus meter, mengalir sungai yang lebar dan dalam. Kedalaman sungai ini sekitar enam meter. Jika musim kemarau, hanya tampak sedikit air didasar sungai, dan juga berwarna keruh. Akan tetapi jika musim hujan, maka ketinggian air bisa mencapai empat meter dan airnya berwarna coklat. Tentu saja sungai ini sangat berbahaya bagi anak-anak. Sungai ini sudah sering memakan  korban yang tenggelam dan ditemukan dalam kondisi sudah tidak bernyawa.

“Pokoknya, tidak boleh naik ke tanggul sungai, baik untuk melihat air sungai atau utuk mencari ikan, paham?” kataku dengan nada agak tinggi. Sebab saya tidak ingin terjadi sesuatu pada mereka.

“Sebelum Budhe suapi, Putri baca doa sebelum makan dahulu.”

Putri pun membaca doa sebelum makan dengan lancar, dan tak berapa lama makanan dipiring sudah habis tak bersisa.

Suasana dirumahku agak sedikit sunyi karena semua keponakan sudah kenyang dan bersama-sama menonton TV. Mereka sepakat untuk menonton film kartun. Biasanya, mereka saling berebut untuk mengganti channel televisi sesuai dengan acara favorit masing-masing. Setelah beberapa saat....

“Budhe, Putri ngantuk, buatin susu ya...”

“Baik, sekarang Putri bobok dulu dikamar dan jangan loncat-loncat diatas kasur ya.”

“Iya Budhe, Putri tadi sudah capek bermain.”

Setelah selesai dengan sebotol susu formula, saya pun  beranjak kedalam kamar. Tampak Putri sudah sangat mengantuk dengan ditemani kakak-kakak sepupunya. Setelah menghabiskan satu botol susu...

“Cerita Budhe..... cerita....”

“Iya, cerita dong.” Pinta yang lain

“Baiklah, dengarkan baik-baik ya....”

Timun mas

Pada zaman dahulu kala, hiduplah sepasang suami istri yang bekerja sebagai petani. Mereka tinggal di sebuah desa di dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Pagi berangkat ke sawah, siang membuat anyaman bambu. Mereka bekerja dengan riang gembira. Sayangnya, ada sesuatu yang mengganjal dihati suami istri tersebut. Mereka berdua  belum dikaruniai seorang anak pun.

Setiap hari mereka selalu memanjatkan  doa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi seorang anak sebagai pelipur lara. Hingga pada suatu hari, seorang raksasa melewati tempat tinggal mereka. Raksasa itu mendengar doa suami istri itu, yang meminta anak. Raksasa ini sangat sakti. Dia pun mendatangi mereka.

“Wahai petani, aku mendengar kamu sedang meminta seorang anak.” Kata Raksasa dengan suara yang menggelegar seperti halilintar.

“Be... benar.... Tuan Raksasa....” kata sang suami dengan terbata-bata, mereka berdua takut sekali kalau dimakan oleh Raksasa.

“Ha...Ha...Ha...Ha.... kamu jangan takut, aku tidak akan memakanmu, kamu sudah tua, dagingmu pasti alot... Ha...Ha...Ha...Ha...” kata Raksasa sambil tertawa terbahak-bahak.

Suara tawanya bergema hingga jauh kedalam hutan, menyebabkan semua binatang hutan menjadi ketakutan.

 Kemudian setelah tawanya mereda, Raksasa  memberi mereka biji mentimun.

“Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata Raksasa. “Terima kasih, Raksasa,” kata suami istri itu.

“Tapi ada syaratnya. Ketika  berusia 17 tahun anak itu harus kalian serahkan padaku,” sahut Raksasa.

Suami istri itu sangat merindukan seorang anak. Karena itu tanpa berpikir panjang mereka menyetujui syarat dari Raksasa.

Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.

Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak, mereka memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas. Mereka bertiga hidup dengan sangat berbahagia.

Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik dan sopan. Kedua orang tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut jika Raksasa itu kembali, maka mereka akan kehilangan Timun Mas.

Ketika usia Timun Mas enam belas tahun, ayah Timun Mas pergi dari rumah untuk berdoa. Dia memohon pada Tuhan Yang Maha Kuasa adgar diberi jalan untuk mengalahkan Raksasa. Hampir saja Petani tersebut putus asa. Hingga pada suatu malam, tampaklah sesosok orang tua yang telah renta mendatangi tempatnya berdoa.

“Hai Petani, aku tahu kamu sedang bersedih karena Raksasa hutan ini. Aku akan membantumu untuk mengalahkan Raksasa itu. Ambillah bungkusan ini. Berikan pada anakmu ketika Raksasa itu datang. Suruhlah dia berlari sejauh mungkin.” Kata orang tua.

“Oh... terima kasih Kek, saya tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Kakek.” Kata Petani sambil membungkukkan badan. Ajaib, ketika Dia mengangkat kembali kepalanya, Kakek itu sudah menghilang.

Dengan gembira, Petani itu segera pulang kerumah. Besok  merupakan hari perayaan ulang tahun Timun Mas yang ke tujuh belas.

Pada esok harinya, Raksasa datang kembali. Raksasa itu menangih janji untuk mengambil Timun Mas.

Petani itu mencoba tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan memanggilnya,”

Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku, ambillah ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu melawan Raksasa. Sekarang larilah secepat mungkin,” katanya. Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.

Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau anaknya menjadi santapan Raksasa.

Raksasa menunggu cukup lama. Dia menjadi tak sabar. Dia telah dibohongi suami istri itu. Lalu Dia pun menghancurkan pondok petani itu dan berlari mengejar Timun Mas ke hutan.

Karena langkah Raksasa sangat lebar, tak berapa lama kemudian Raksasa dapat mengejar Timun Mas. Raksasa itu semakin dekat dan hampir dapat menangkap Timun Mas. Timun Mas mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam cabai. Cabai itu dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan ranting dan duri yang tajam memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan. Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya. Raksasa itu hampir menangkap Timun Mas lagi. Tangannya hampir menyentuh baju Timun Mas.

Timun Mas pun mengambil sesuatu dari kantongnya. Dia menemukan biji mentimun. Timun Mas pun menebarkan biji-biji mentimun. Ajaib, seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih dan kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.Timun Mas segera berlari kembali. Dia berlari sangat kencang, karena takut ditangkap oleh Raksasa.

Tapi lama kelamaan tenaganya habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya. Kembali Raksasa mengejar Timun Mas. Timun Mas berlari lagi. Tapi Raksasa sungguh kuat. Dia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Bahkan selendang Timun Mas sudah berhasil ditangkap Raksasa.

Maka Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Timun Mas segera mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke arah Raksasa. Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar. Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.

Timun Mas kembali melarikan diri. Dia berlari sekuat tenaga. Raksasa lagi-lagi hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.

“Alhamdulillah....” kata Timun Mas

Timun Mas lega. Dia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya. Ayah dan Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka menyambutnya. “Terima Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku,” kata mereka gembira.

Sejak saat itu Timun Mas hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat hidup bahagia tanpa ketakutan pada Raksasa.

“Ceritanya sudah selesai, sekarang saatnya tidur semua.”

“Wah, akhirnya Raksasa yang jahat itu mati ya...” kata Reza sambil menghela nafas

“Iya, untunglah Timun Mas selamat.” Sahut Putri

“Makanya, kita tidak boleh jahat pada orang lain, nanti akan terkena hukuman seperti Raksasa, sekarang saatnya untuk tidur siang.” kataku

Kemudian, mereka membaca doa sebelum tidur dan semuanya memejamkan mata.

Selamat Tidur Siang.

Jumlah kata: 1786

Jumlah kata keseluruhan: 5.069

Blog, Updated at: 12.03

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Followers