Love You Mom, Renungan Hari Kartini

Posted by Diah Chamidiyah Blog on Minggu, 01 Mei 2011

Bagiku, sosok Kartini, pejuang emansipasi wanita yang juga menjadi pahlawan nasional justru aku temukan pada ibuku. Bukan tanpa alasan, betapa berat perjuangan beliau mengentaskan kami, ke sembilan anaknya tanpa ada suami disisinya. Perjuangan ibuku ini tidak hanya mendapat apresiasi dari anak-anaknya, tapi juga dari semua orang yang mengenal beliau.
Inilah sekelumit kisah ibuku…
Pada usia 18 tahun, beliau menikah dengan bapak, setahun kemudian, lahirlah anak perempuan yang cantik dan cerdas. Walaupun ibu mempunyai ketrampilan menjahit, bordir, serta merajut, tetapi beliau tidak diperbolehkan bapak mengembangkan semua ketrampilannya. Maklum, ibu yang sangat cantik, sehingga bapak menjadi kuatir bila ibu berpaling ke orang lain. Apalagi usaha konveksi bapak juga sedang berkembang pesat.
Selanjutnya, setiap dua atau tiga tahun sekali, ibu melahirkan anak laki-laki, hingga berjumlah 5 orang anak, satu perempuan dan 4 laki-laki. Dapat dibayangkan, bagaimana ramainya rumah kami jika ke empat saudaraku yang laki-laki sedang bertengkar, entah rebutan makanan ataupun rebutan mainan.  Bapak yang sering tidak sabar hanya menanggil ibu supaya melerai anak-anaknya yang sedang bertengkar. Berbeda dengan ibu, jika anak-anaknya bertengkar, ibu hanya memberikan gunting  dan pisau ke dalam genggaman anak-anaknya yang sedang bertengkar, ” Nah, daripada ribut, ditangan kalian ada gunting dan pisau, mau diapakan terserah.” kata ibu sambil berlalu. Biasanya sih, kakak-kakakku akan reda, ga jadi berantem lagi. Hehehhehe….
Walaupun punya enam anak, ibu tidak pernah kerepotan, karena ada yang membantu memasak, ada pula yang membatu membersihkan rumah, serta ada pula yang membantu mengasuh anak yang masih balita. Kehidupan beliau seperti putri raja saja, semua sudah ada yang melayani.
Selain kelima anaknya, kedua orangtuaku juga mengijinkan saudara sepupu dari pihak ibu, paman kami memanggilnya, untuk tinggal dan bersekolah di dekat rumah, apalagi kondisi  paman tersebut juga sakit-sakitan, bahkan kalau berangkat sekolah harus digendong. Dengan telaten, bapak mengantar dan menjemput paman bersekolah, hingga tamat SMA.
Begitulah roda kehidupan berputar. Setelah merasakan hidup yang bergelimang harta dan dilayani bagaikan putri raja, ibu juga mengalami masa-masa yang dangat sulit. Bermula ketika bapak kepincut bujukan kakaknya untuk meminjam uang di bank, serta bujukan teman-temannya untuk main rollet (judi) menjadikan usaha konveksi yang telah dirintis dan sempat berkembang pesat mengalami kemunduran. Ditambah lagi dengan penyakit gula yang datang menyerang, akibat selalu begadang di meja judi. Harta benda yang dikumpulkan sedikit demi sedikit mulai habis terkuras. Alhamdulillah, Bapak bertaubat setelah hartanya hanya tinggal rumah untuk bernaung. Beliau menjadi sangat rajin beribadah, dan tidak pernah ketinggalan sholat lima waktu berjama’ah di masjid. Dan ketika si bungsu berusia setahun, bapak meninggal dunia. Semoga bapak mendapat pengampunan dari Allah…. Amin.
Dalam masa sulit, berturut-turut lahir anak ke 6 hingga ke sembilan. Dari sembilan anaknya tersebut, hanya 3 yang perempuan dan sisanya laki-laki. Kami semua juga diharuskan bersekolah di Madrasah, supaya memiliki bekal agama yang kuat, dan minimal pendidikan kami setingkat SMA. Masa-masa sulit ini menjadi bertambah sulit karena wafatnya bapak.
Melihat kondisi keluarga yang mulai diambang kehancuran, ibu pun mengambil langkah sigap. Ibu membuka kursus menjahit dan bordir, serta berjualan hasil karyanya. Dalam semalam, bisa menghasilkan 5-10 buah kerudung bordiran yang siap pakai. Pagi harinya, ibu menjual hasil karyanya di pasar-pasar. Selain itu juga membuka usaha persewaan semua perlengkapan hajatan, mulai tenda, meja, kursi, piring, gelas dan laian-lain. Modalnya, dari menyisihkan hasil jualan kerudung dan baju.
Masa-masa sulit kami lewati dengan bersemangat. Kakak perempuanku menyelesaikan kuliah dengan biaya seadanya, serta sambil memberikan les privat, kemudian ikut suaminya merantau ke pulau Andalas dan berprofesi sebagai PNS. Kakakku yang kedua, laki-laki,  setelah menamatkan MA (SMA) kemudian mengabil kursus olahraga (KGO) selama 3 bulan, setelah lulus langsung diangkat sebagai guru SD. Adiknya, laki-laki tidak mau melanjutkan sekolah setelah tamat MA, dia lebih suka membantu ibu mencari nafkah dengan berdagang sandal dan sepatu di pasar dan sukses memilik tiga kios dan berhektar-hektar kebun jati. Anak yang nomer  empat, setelah menyelesaikan MA, mengabdikan ilmunya di almamater sebagai tenaga tata usaha. Selanjutnya anak nomer lima ingin memperdalam pelajaran agama, maka diapun belajar di pesantren dan menghafalkan Al-Qur’an. Selanjutnya, berturut-turut nomer 6, sarjana dan sekarang sudah menjadi paniter. Anak ke tujuh, perempuan belajar di pesantren dan menghafalkan Al-Qur’an pula. Anak ke delapan menyelesaikan S1 dan sekarang mengajar di MA. Si bungsu,  setelah menyelesaikan S1, memilih menjadi wiraswasta yang sukses.
Ketika mengantarkan anak-anaknya melanjutkan jenjang pendidikan, ibu selalu berpesan: “Jika memang mau bersekolah yang tinggi, harus rajin dan mau bersusah payah. Tak mungkin ibu sanggup memberikan bekal yang besar, maka kamu harus menerima apa adanya.”
Adalagi kata-kata bijak ibu yang selalu terngiang setiap saat, ” karena ibu hanya orang bodoh dan tidak punya harta benda, maka ibu hanya dapat memberikan warisan ilmu, sebab ilmu lah yang dapat menjaga kalian hingga akhir nanti.”
Inilah potret kartini masa kini, dengan semangat baja mengantarkan sembilan anaknya mencapai cita-citanya.
Kami sangat menghormati beliau, dan kami bangga menjadi anak-anak belaiu. Bagi kami, surga memang benar-benar berada di telapak kaki ibu. Semoga dapat mengispirasi kita untuk menjadi orang tua yang baik.
Salam
Love You Mom
13025747741898802147

Blog, Updated at: 08.58

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Followers