Bayang-Bayang Masa Lalu (kolaborasi dengan Kopasianer Dian)

Posted by Diah Chamidiyah Blog on Rabu, 13 Juli 2011

Bayang-bayang Masa Lalu.
Matanya terpejam dengan tangan yang masih menggenggam buku yang setengah terbuka. Dicobanya mengingat-ingat kejadian pada siang hari di mall, ketika dia sedang cuci mata. Tak sengaja dia menabrak gadis yang sedang menata belanjanya di troli. Akibatnya, tumpukan belanja yang telah tersusun rapi pun menjadi berantakan. Botol parfum menggelinding di bawah rak biskuit, sabun-sabun berserakan dan kaleng-kaleng sarden berlarian dengan riang dan berisik.
“Aduh…!” pekiknya.
“Maaf… maaf…maaf. Saya tidak sengaja mbak,” kata Zidane terburu-buru, tidak enak melihat ekspresi wajah si gadis yang pucat, kombinasi antara kesal dan kecapekan.
Dia pun buru-buru jongkok untuk membantu membereskan kekacauan yang sudah dibuatnya diiringi dengan tatapan heran dari pembeli lain.
“Makanya, kalau jalan lihat-lihat dong, jangan asal nyelonong aja,” gerutu gadis itu.
“Iya, Mbak, sekali lagi saya minta maaf,” sahut Zidane sambil memunguti sabun-sabun yang berceceran. “Ni anak belanja atau borong sih, banyak banget belanjaannya,” gerutu Zidane dalam hati.
Aroma mawar yang manis menguar dari tubuh gadis itu ketika Zidane semakin dekat dengannya. Aroma yang membikin angan Zidane melayang pada masa silam. Bau harum yang sama, pada gadis yang berbeda. Aroma yang juga sering muncul pada seorang gadis yang pernah sangat dekat dengannya, Osa namanya. Mereka berkenalan pada acara lomba karya tulis ilmiah yang diselenggarakan oleh sekolah Zidane. Saat itu Osa masih SMP kelas VIII dan Zidane sudah duduk di SMA, kelas XI. Usia mereka terpaut 3 tahun.
Setelah perkenalan pertama mereka, mereka pun menjalin pertemanan yang istimewa. Mereka berdua sepakat untuk tidak berpacaran karena masih muda. Mereka hanya sering pergi bersama ke perpustakaan daerah atau janjian untuk bertemu di toko buku dekat sekolah Zidane. Tak lebih dari itu, meskipun dalam hati mereka telah tertanam benih-benih cinta. Sayang, selulus SMP, Osa tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Dan Zidane sangat merindukannya. Sampai hari ini, ketika bertemu dengan gadis yang mengingatkannya terhadap Osa.
“Terimakasih,” kata gadis itu membuyarkan lamunan Zidane.
“Eh…. oh, iya sama-sama. Sekali lagi, saya minta maaf,” tergagap Zidane menjawab
Gadis itu melanjutkan menyusuri rak demi rak untuk mencari barang-barang yang masih dibutuhkan. Zidane mengikuti langkah gadis itu dengan ekor matanya.
“Hem… serasa berada di dekat Osa. Wangi yang sama, tapi sayang bukan Osa,” Zidane bergumam sambil mencoba mengingat kejadian tadi siang. Hati Zidane menjadi tak tenang. Bukan salahnya jika dia sampai menabrak gadis itu, salahkan saja HP yang tiba-tiba berbunyi. Panggilan dari ibunya yang minta dijemput dari kantor. Matanya terpejam, dan berharap bermimpi bertemu Osa. “Ah…. Aku sungguh merindukan kamu, Sa….” Gumam Zidane sebelum pulas.
****************

Tak terasa, sepekan berlalu. Lembayung senja hiasi ufuk barat. Dengan langkah berat, Zidane menyusuri koridor depan rektorat. Sepi, maklum sudah sore. Hanya tampak beberapa mahasiswa di halaman yang sedang diskusi. Masih terngiang penolakan PR III atas proposal yang disodorkannya.
“Acara seperti ini sudah sering diadakan. Tak ada alokasi dana untuk acara bazar macam ini. Silahkan cari dana sendiri,” kata Staf PR III.
“Duh… musti cari dana kemana lagi nih, fakultas sudah ga mau, sekarang rektorat juga ga mau. Huh…,” keluh Zidane sambil berjalan dengan tertunduk lesu.
Tiba-tiba… Gubrak!!
“Aduh…,” terdengar suara seorang gadis mengaduh.
“Maaf, Mbak. Maaf…,” kata Zidane.
Kejadian di mall terulang kembali. Zidane pun hampir tak percaya kalau yang ditabraknya adalah gadis yang sama dengan gadis di mall.
“Kayaknya kita berjodoh. Boleh berkenalan? Namaku Zidane,” kata Zidane sambil mengulurkan tangan.
Walaupun dengan kening berkerut, gadis itu menyambut uluran tangan Zidane.
“Osi…,” katanya. Setelah bertukar nama dan no HP, mereka pun berpisah.
Ternyata, Osi kuliah di kampus yang sama dengan Zidane, hanya berbeda jurusan. Zidane mengambil jurusan teknik, Osi mahasiswi jurusan Sastra Inggris. Osi masih semester 1, sedangkan Zidane sudah memasuki tahap menulis skripsi. Kesibukannya yang luar biasa di senat membuat skripsinya sedikit keteteran. Setelah saling berkirim SMS dan sering bertemu di kampus, Zidane dan Osi menjadi akrab, bahkan mereka telah berjanji menjadi sepasang kekasih.
***************

Suatu malam di kamar Zidane.
“Datang ke rumah ya, penting!” kata Osi lewat HP
“Ada apa? kamu nggak pa pa kan?” tanya Zidane cemas
” Ada yang mau aku kenalin ke kamu.”
“Siapa?” tanya Zidane
“Udah deh, cepat ke sini aja ya…”
Setelah berganti baju dengan jins dan oblong, Zidane pun bergegas ke rumah Osi. Selama ini, Osi tinggal berdua dengan pembantunya. Keluarga Osi yang lain berada di Bandung. Setelah melewati jalanan di Jogja yang semakin semrawut, Zidane pun berbelok di gang yang menuju rumah Osi. Tiba di depan rumah Osi, tampak sebuah mobil terparkir, dan terdengar gelak tawa dari ruang keluarga.
Ting tong….
Zidane membunyikan bel di depan pintu rumah Osi. Seketika gelak tawa dari dalam rumah terhenti oleh bunyi bel. Terdengar langkah mendekati pintu.
“Oh kamu, ayo masuk… Keluargaku baru datang dari Bandung,” kata Osi sambil menggandeng tangan Zidane.
“Ayah, Bunda, Osa, kenalkan ini pacarku, Zidane,” kata Osi pada ketiga orang yang sedang asyik bercanda sambil menonton televisi.
Laki-laki setengah baya yang masih tampak gagah, perempuan berambut ikal berkulit putih berumur sekitar 40 tahuan dan gadis yang sebaya dengan Osi, serentak menoleh. Tampaklah muka terkejut dari si gadis yang berada di dalam.
“Zidane?!” seru Osa tertahan.

Zidane pun kaget. Setelah sekian lama berpisah tanpa kabar berita, mereka bertemu juga. Gadis yang pernah begitu dirindukannya itu kini ia temui dalam situasi yang berbeda. Osi dan Osa? Apaka mereka adalah saudara kembar? Oh, kenapa tak pernah terpikir olehnya sebelumnya? Wajah mereka berbeda, tapi sikap dan gerak gerik mereka sama. Bahkan selera parfum mereka juga sama, wangi mawar.
Zidane tak sanggup berkata-kata. Sungguh, ia shock sekali melihat kenyataan bahwa dua gadis yang sama-sama menempati hatinya adalah sepasang saudara kembar. Bagaimana ia tak pernah berhenti memikirkan Osa, walaupun Osa tak pernah berkirim kabar sama sekali.
Melihat wajah Zidane dan Osa yang tampak shock, Osi pun bertanya,” Apakah kalian sudah saling kenal?”
Zidane dan Osa mengangguk, tanpa kata-kata. Suasana mendadak menjadi tegang dan tak mengenakkan. Ayah mereka yang dapat membaca suasana yang tak mengenakkan itu mencoba mencairkan suasana, “Mari masuk, Nak Zidane. Mari duduk bersama kami,” katanya.
Zidane pun mengangguk, lalu melangkah masuk ke ruang tamu diikuti oleh Osa, Osi, serta ayah dan ibu mereka. Dia pun duduk berhadapan dengan ayah Osa.
“Kalau boleh tahu, di mana Nak Zidane tinggal? Om dulu juga berasal dari Jogja. Tapi sejak Osi dan Osa SMA kami pindah ke Bandung, maklum tugas kantor.” katanya.
Zidane pun menyebutkan daerah tempatnya tinggal.
“Dekat kantor pos, Om. Masuk sedikit, ada rumah di kanan jalan yang bercat hijau,” katanya.
“Dekat kantor pos?” tanya Papa Osi dengan kening sedikit berkerut. Ada seberkas raut khawatir dalam roman mukanya.
“Om dulu juga pernah tinggal di sana, Nak Zidane.”
“Oh, iya, to Om? Di daerah mana?” tanya Zidane antusias.
“Ah, tak penting. Hanya masa lalu, kok.”
“Mungkin ada yang Zidane kenal, Om,” sahut Zidane penasaran.
“Kenal Pak Jarwo, Nak?” tanya Ayah Osi.
“Pak Jarwo? Mbah Jarwo, maksud Om?”
Ayah Osi pun mengangguk.
“Itu kakek saya, Om,” sahut Zidane. “Beliau yang merawat saya karena ayah saya pergi entah ke mana,” lanjutnya.
“Pak Jarwo kakekmu, Nak?! “ tanya Ayah Osa setengah tak percaya.
“Ya, Om. Kenal?”
Tiba-tiba meluruhlah posisi duduk Ayah Osa. Dia mendekati Zidane dan bersimpuh di depannya. Dipeluknya Zidane dengan erat. “Zidane, kau anakku. Anak yang telah kusia-siakan selama ini. Maafkan Ayah, Nak…” kata lelaki itu sambil mengiba di depan Zidane.

Tak hanya Zidane yang terkejut. Osa, Osi, dan bunda mereka juga tak kalah terkejutnya.
“Jadi… jadi,” kata Zidane terbata-bata.
“Ya, Nak. Akulah ayahmu yang telah menerlantarkan kamu selama ini. Maafkan Ayah, Nak,” kata laki-laki itu terus mengiba. Airmatamengalir dari kedua mata lelaki paruh baya itu. Tampak jelas penyesalan begitu dalam terpancar dari sana.
Zidane serasa tak percaya. Ayah yang selama ini begitu dirindukan kasih sayangnya ternyata adalah Ayah Osi dan Osa, dua gadis yang dicintainya. Jadi mereka adiknya? Bercampuraduklah segala macam rasa dalam dada Zidane. Marah pada ayahnya yang telah menelantarkannya sekaligus iba karena lelaki perkasa itu yang telah menyesali semua kesalahannya. Sedih karena gadis yang dicintainya adalah adiknya, sekaligus juga lega karena tak harus memilih di antara keduanya. Namun, ia masih begitu shock dengan kejutan-kejutan yang ia alami dalam beberapa menit terakhir. Semuanya pun terdiam, tanpa kata, larut dalam pikiran dan perasaan masing-masing.

“Ayah,” kata Zidane setelah terdiam beberapa saat. “Ibu selalu bilang bahwa saya tak boleh marah kepada Ayah. Semua pasti ada hikmah yang bisa kita petik,” lanjutnya. Ia pun merangkul bahu ayahnya yang masih luruh memeluknya.
“Bangkitlah, Ayah, peluklah anakmu yang merindukanmu selama ini,” kata Zidane lagi.
Mendengarkan Zidane berkata begitu, Ayah pun bangkit lalu memeluk Zidane dengan begitu erat. Kebekuan segera mencair karena Osa dan Osi kembali mengeluarkan celoteh riangnya.

“Wah, tak disangka kita punya kakak, ya, Sa,” seru Osi, “sudah besar pula.”
“Iya,” sahut Osi. “Ganteng pula,” lanjutnya sambil tertawa.
“Kakak, mau dong dipeluk seperti Ayah,” kata mereka berdua bersamaan
Setelah lepas dari pelukan ayahnya, Zidane pun mengembangkan kedua tangannya menantikan hamburan adik-adiknya sambil tertawa. Bunda si kembar hanya bisa tertawa sambil menahan haru dalam hatinya. Dulu, hampir dua puluh tahun yang lalu, ia dan suaminya, ayah tiga anak itu telah melakukan sebuah kesalahan dengan mengkhianati Ibu Zidane. Dan buah kesalahan itu telah ia rasakan hari ini, di mana ketiga anak itu terlibat dalam hubungan asmara terlarang. Syukurlah, hal ini bisa diketahui sejak dini dan anak-anak itu pun mau menerima kenyataan yang terjadi.
Ia pun menghela nafas panjang. Dalam hati, ia bertekad untuk segera mendatangi ibu Zidane dan meminta maaf atas kesalahannya di masa lalu. Tawa pun mulai terdengar berderai-derai di semua penjuru rumah itu.

Blog, Updated at: 09.52

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Followers